oleh : Samuel Mulia - Kompas,Minggu 1 Februari 2009
Setelah menyaksikan pelantikan Pak Obama disahkan sebagai Presiden Amrik dalam upacara yang sederhana dan kasual, dan membuat saya terlambat bangun keesokan harinya , saya memutuskan menjalani hidup biasa-biasa saja, sesederhana acara akbar itu. Enggak usah dibuat ribet, enggak usah dibuat dramatis. Meski mungkin, mengurus keamanan sang calon presiden juga ribet setengah mati.
Bisa jadi, juga tidak. Semuanya tergantung pada presidennya. Mau ribet, ya semua tim jadi ribet. Mau enggak ribet, ya enggak ribet. Maka, benarlah adanya, ribet atau tidaknya budaya kantor,apa budaya rumah tangga istana, dirjen A, dan dirjen B,itu tergantung dari tingkat keribetan si Pak Bos. Makin ringan derajat ribet-nya, seyogyanya makin bagus dan menyenangkan semua orang. Sayangnya, dalam hidup ini ada yang memilih menjadi ribet, bahkan super-ribet. Mungkin filosofi hidup mereka kalau bisa dibuat susah mengapa mesti dibuat mudah ?.
Bisa sederhana
Dengan biaya pelantikan nyais seratus lima puluh juta dolar, dan tidak tahu apakah itu sudah termasuk biaya gaun Ibu Obama,saya merasa kok acaranya biasa banget gitu loh!
Angka fantastis itu tidak sebanding dengan kesan yang didapat. Kalau , cuma melihat lautan manusianya, tentu saja. Belum lagi menghitung pemirsa televisi di seantero jagat raya ini dan yang bersuka cita di beberapa hotel berbintang di
Kemudian, saya melihat pakaian yang dikenakan para hadirin dan tokoh-tokoh ternama, waduh……itu kok lebih nelongso lagi. Mantel gelap, leher dibebat selendang tebal, paduan warna yang kacau-balau. Sudah begitu, sosoknya juga tuwir-tuwir. Sudah berumur maksudnya. Beda sekali saat saya menyaksikan acara Golden Globe.
Melihat cara berpakaian itu, saya ingat sedang di luar negeri pada waktu musim dingin. Mantel tebal, leher tertutup selendang wol, telinga ditutup penghangat yang mirip headphone. Belum termasuk sarung tangan,kepala terbungkus topi penghangat, kaus kaki tebal, dan sepatu bot. Kalau sudah begitu, Anda bakal bingung membedakan saya dari penguin atau pocong. Yang penting hangat.
Entah mengapa, penampilan yang nelongso itu tidak terjadi pada Bu Obama dan Bu Laura Bush. Mereka tampak anggun dan tidak seperti orang sedang masuk angin. Bahkan,tanpa selendang hangat penutup leher, tanpa mantel yang berat dan berwarna gelap padahal katanya udara di luar minus enam derajat Celcius. Saya enggak tahu juga, mugkin gaun yang dikenakan ada pemanasnya.
Demikian juga Pak Obama dengan penampilannya yang tak modis, bahkan kelihatannya kuno. Tetapi,apapun yang saya nilai, benang merahnya adalah mereka sepertitak perlu harus berpenampilan ribet. Kekasualan yang dicerminkan itu menunjukkan aku manusia biasa. Hanya kebetulan jadi presiden. So, what gitu loh ?. Mungkin ini juga satu dari sekian juta indikator menampilkan kepribadian Partai Demokrat.
Nuraninya saya tidak tahan berkicau, “ Hi-hi-hi…….. itu bedanya Obama sama sampean. Sana ganteng, penampilan tak perku modis-modis amat. Elu ……muke kayak kulit salak, cakep pun tidak. Makanya selalu kerja keras buat memesona dari luar. Kecian deeehhh….”
Biasa “ribet”
Jauh sebelum hari istimewa Pak Obama itu, saya berpapasan dengan kendaraan salah satu capres. Baru berstatus calon saja, jalanan umum sudah distop, semua kendaraan harus ke pinggir.
Mobil si caprs juga ditemani kendaraan lain dengan suara ngoeng-ngoeng. Saya bingung karena saya tak tahu apa memang sebagai capres fasilitas berkendaraan di jalan raya juga sama dengan yang sudah presiden. Yang jelas jalan jadi macet dan menjadi ribet karenanya.
Saya Cuma melamun, baru jadi calon saja sudah begitu, bagaimana kalau sudah jadi. Saya tersenyum saja karena saya tak beda dari si capres. Saya ini orangnya, sederhana-sederhana ribet. Salah…. ribet-ribet simple. Maunya sederhana, maunya enggak neko-neko, tetapi selalu saja neko-neko. Neko-nya lebih besar daripada sederhananya. Melihat hidup itu selalu dari kacamata negative. Berpikir juga tak bisa sederhana. Emosi melulu, mudah tersentil dan berteriak. Kalau sudah berteriak, kemudian menjalar kemana-mana. Seandainya saya yang di sumpah dan membuat kesalahan dan keseleo waktu di sumpah saya rasanya kesal dan akan marah-marah mengapa itu terjadi. Kalau bisa diulang lagi.
Saya selalu mengatakan dan bercita-cita memiliki hidup yang senang, tenteram, dan biasa-biasa saja. Tetapi, pada kenyataannya, susah sekali. Apalagi waktu masih jadi bos, saya suka memotong hierarki. Hierarki dibuat untuk memudahkan jalannya upacara, saya malah me-ribet-kan upacara itu. Saya suka menegur langsung bawahan. Padahal bawahan saya punya manajer. Berdasarkan hierarki yang sudah saya setujui, seharusnya saya memarahi manajernya dan tak bisa main tembak langsung.
Gara-gara ini, saya membuat manajer itu tak punya wibawa. Saya itu mau mempekerjakan manusia sebagai direktur operasional, tetapi saya juga ingin menjadi direktur operasional. Setelah dipikir-pikir, buat apa saya menyewa mereka. Kalau saya masih seperti itu ?. Sekarang saya tahu, ribet adalah nama tengah saya. “Salah angin ribet saja , pengganti angin ribut”, kata nurani saya lagi.
Samuel Mulia,
Penulis Mode dan Gaya Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda kami tunggu..........Tks