perciQ - Minat Baca dan Tulis
TAJUK RENCANA - KOMPAS – SABTU 31 JANUARI 2009
Di Vietnam harga buku yang murah dan mudah didapat merupakan factor penting berkembang pesatnya minat baca dan tulis. Mengapa murah ?. Karena subsidi besar dari pemerintah. Mengapa mudah didapat ? Karena banyak tersedia toko buku, kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat membuka Kompas Gramedia Fair di Istora Senayan (Kompas 28/1). Pernyataan itu mungkin umum-umum saja, mungkin juga kurang menggigit di tengah seabrek persoalan yang membelit. Akan tetapi, dikaitkan dengan kualitas dan tantangan bangsa di masa depan, pernyataan Fauzi Bowo menyampaikan pesan profetis. Minat baca dan tulis, salah satu faktor modernitas suatu bangsa, di negeri ini amat memprihatinkan. Mari kita berhitung. Indonesia dengan penduduk 225 juta setiap tahun memproduksi 8000 judul buku. Vietnam dengan 80 juta penduduk memproduksi 15.000 judul. Perbandingan itu membuat jengah sebab Vietnam baru merdeka tahun 1968, Indonesia tahun 1945. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar mengembangkan pedidikan dasar dari Indonesia, sekarang Vietnam mengungguli kita. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar bercocok tanam padi, sekarang menjadi eksportir beras untuk Indonesia. Sektor distribusi buku seperti dalam kasus Vietnam berperan penting dalam industri perbukuan. Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 700 toko buku aktif ukuran besar dan kecil. Jumlah ini masih belum memadai untuk melayani 1.000 juta pembeli buku. Dengan sekitar 6.400 percetakan dan sekitar 3.700 perpustakaan saat ini, kita pantas prihatin. Sutan Takdir Alisjahbana mengimpikan modernitas yang dicirikan besarnya produksi buku, judul maupun eksemplar, ditunjang jumlah toko buku, perpustakaan, dan percetakan, yang tentu saja berdampak pada gila buku. Modernitas sebagai bangsa merupakan keniscayaan. Kita sebaiknya tidak terjebak pada jawaban klise menyangkut biaya. Ketersediaan alokasi biaya sebenarnya merupakan representasi rendahnya menghargai produk budaya ilmu pengetahuan. Akar masalahnya adalah culture matters atas peradaban kita, dalam hal ini budaya baca dan tulis. Perlu ada dekonstruksi atas kebijakan yang lebih memberikan kelonggaran bagi berkembangnya industri bisnis sekaligus industri idealisme ini. Budaya nonton dan budaya omong mengubur atau setidak-tidaknya memperlambat besarnya minat baca dan tulis. Saran kita konkret, mungkin sporadis sudah dilakukan, yakni diwajibkan setiap anak atau mahasiswa yang lulus mewariskan satu eksemplar buku. Biasakan memberikan hadiah ulang tahun atau hari raya tidak dengan bunga, tetapi dengan buku.
TAJUK RENCANA - KOMPAS – SABTU 31 JANUARI 2009
Di Vietnam harga buku yang murah dan mudah didapat merupakan factor penting berkembang pesatnya minat baca dan tulis. Mengapa murah ?. Karena subsidi besar dari pemerintah. Mengapa mudah didapat ? Karena banyak tersedia toko buku, kata Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo saat membuka Kompas Gramedia Fair di Istora Senayan (Kompas 28/1). Pernyataan itu mungkin umum-umum saja, mungkin juga kurang menggigit di tengah seabrek persoalan yang membelit. Akan tetapi, dikaitkan dengan kualitas dan tantangan bangsa di masa depan, pernyataan Fauzi Bowo menyampaikan pesan profetis. Minat baca dan tulis, salah satu faktor modernitas suatu bangsa, di negeri ini amat memprihatinkan. Mari kita berhitung. Indonesia dengan penduduk 225 juta setiap tahun memproduksi 8000 judul buku. Vietnam dengan 80 juta penduduk memproduksi 15.000 judul. Perbandingan itu membuat jengah sebab Vietnam baru merdeka tahun 1968, Indonesia tahun 1945. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar mengembangkan pedidikan dasar dari Indonesia, sekarang Vietnam mengungguli kita. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar bercocok tanam padi, sekarang menjadi eksportir beras untuk Indonesia. Sektor distribusi buku seperti dalam kasus Vietnam berperan penting dalam industri perbukuan. Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 700 toko buku aktif ukuran besar dan kecil. Jumlah ini masih belum memadai untuk melayani 1.000 juta pembeli buku. Dengan sekitar 6.400 percetakan dan sekitar 3.700 perpustakaan saat ini, kita pantas prihatin. Sutan Takdir Alisjahbana mengimpikan modernitas yang dicirikan besarnya produksi buku, judul maupun eksemplar, ditunjang jumlah toko buku, perpustakaan, dan percetakan, yang tentu saja berdampak pada gila buku. Modernitas sebagai bangsa merupakan keniscayaan. Kita sebaiknya tidak terjebak pada jawaban klise menyangkut biaya. Ketersediaan alokasi biaya sebenarnya merupakan representasi rendahnya menghargai produk budaya ilmu pengetahuan. Akar masalahnya adalah culture matters atas peradaban kita, dalam hal ini budaya baca dan tulis. Perlu ada dekonstruksi atas kebijakan yang lebih memberikan kelonggaran bagi berkembangnya industri bisnis sekaligus industri idealisme ini. Budaya nonton dan budaya omong mengubur atau setidak-tidaknya memperlambat besarnya minat baca dan tulis. Saran kita konkret, mungkin sporadis sudah dilakukan, yakni diwajibkan setiap anak atau mahasiswa yang lulus mewariskan satu eksemplar buku. Biasakan memberikan hadiah ulang tahun atau hari raya tidak dengan bunga, tetapi dengan buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda kami tunggu..........Tks