Jumat, 06 Februari 2009

BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan
beruntun.
"Cak Nun", kata sang penanya, "misalnya
pada waktu
bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi
tiga pilihan,
yang harus dipilih salah satu: pergi ke-masjid
untuk shalat Jumat,
mengantar pacar berenang, atau
mengantar tukang becak miskin
ke rumah sakit akibat
tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?".

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan".
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" ,
kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu",
jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu
namanya mau masuk
surga tidak ngajak-ngajak" , katanya lagi.
"Dan lagi belum tentu
Tuhan memasukkan ke surga orang
yang memperlakukan
sembahyang sebagai credit point pribadi".

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di masjid, melainkan pada diri orang yang
kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah
orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit,
Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian,
Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan,
Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka
yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat
lima waktu,
membaca al-quran, membangun masjid, tapi
korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah,
shalat, hapal al-quran,
menganjurkan hidup sederhana, tapi
dia sendiri kaya-raya, pelit,
dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang
tidak shalat, tidak membaca al-quran,
tapi suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka,
bukan membangun masjid.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran,
tapi menginjak-injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang,
tapi menginjak Tuhan.

Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih
sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan
membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya
dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan
hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial,
sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain,
memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu
mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi
dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap.
Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,
dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran,
pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut
saya, kita belum
layak disebut orang yang beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan
kita tidak mencuri uang negara,
meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar,
hidup bersih, maka itulah
orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari
kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama
adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain,

Meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan
keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan
jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya
ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya,
orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika
Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang
shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti
tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab
singkat, "Ia di neraka".

Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja
belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan
ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada
lingkungan
sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai
sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di
hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi
keberagamaan dari Gordon W. Allport.

Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama:
ekstrinsik dan intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama
sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan
demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa,
misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih
keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak
menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang
memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran
agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya.
Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual
bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki
pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah
penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang
intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih
dan penuh kasih sayang.

Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus,
melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas
kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy.
Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya
dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap
pelaksanaan ritual-ritual agama.

Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat
politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang
\memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali
dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam
shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam
urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang
melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.

Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan
negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001
mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan
1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola,
dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang
memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu,
rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku,
Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.

Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa
banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah
(ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit,
kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita
saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang
dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah,
sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.

Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut
negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang
dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah,
di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari
sesuap nasi. Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali,
di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena
tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik
mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda kami tunggu..........Tks

 
Add to Technorati Favorites

Web Site Counter
Canon printers

Add to Technorati Favorites Add to Technorati Favorites