Kamis, 01 Oktober 2009

Fw: Model Pembangunan Ekonomi Abad Ke-21

 
 
Model Pembangunan Ekonomi Abad Ke-21
A. Dahana
 

BANYAK jalan ke Roma. Itulah pepatah lama. Namun, arah ke pembangunan ekonomi dalam abad ke-21 tampaknya cuma ada dua: Jalan Cina dan Jalan India. Keduanya berbeda dalam prinsip dan kebijakan.

Jalan yang ditempuh Cina, di bawah semboyan Selamat Datang Investasi Asing. Kalau tak percaya, datanglah ke pusat perbelanjaan Jakarta dan kota besar lain di. Hampir semua lapaknya dipenuhi barang Zhongguo Zhizao atawa Made in China. Gejala serupa juga terlihat pada produk komputer dan aksesorisnya.

Di AS, banjirnya barang impor dari Negeri di Tengah Dunia itu tercermin oleh Wall Mart, toko serbaada yang menyediakan keperluan untuk kaum kelas menengah ke bawah. Dan Wall Mart selalu ada di kota-kota paling kecil pun di negeri Paman Sam itu.

Itu semua adalah akibat dari kebijakan Cina setelah mendiang Deng Xiaoping pada awal 1980-an memperkenalkan reformasi dan keterbukaan (gaige he kaifang). Lokomotif utama kebijakan itu adalah Foreign Direct Investment (FDI).

Membanjirnya produk Cina ke pasaran global merupakan akibat langsung dari kebijakan yang mengutamakan ekspor, dan itu juga sebaghai hasil dari FDI. Sejumlah perusahaan asing memproduksi barang ekspor, dan Cina menyediakan lahan, upah buruh yang relatif rendah, dan aturan bagi para pemodal Cina yang lebih kendor ketimbang di negara lain.

Akibat dari kebijakan itu di satu sisi sangat berhasil. Rata-rata laju perekonomian Cina berada di atas angka 8%/tahun. Dan itu terjadi terus-menerus dalam kurun waktu lebih dari 25 tahun terakhir ini. Namun, di sisi lain ada juga segi negatif. Sebegitu jauh belum banyak muncul perusahaan yang benar-benar nasional dan mampu bersaing dengan perusahaan multinasional di pasar global.

Belum lama ini Majalah Newsweek memuat tulisan tentang langkanya perusahaan nasional Cina yang tampil menonjol di tataran global. Itu, kata penulisnya, karena kebanyakan perusahaan Cina memproduksi barang tanpa label yang dijual di bawah label perusahaan pembelinya. Itulah plus-minus model pembangunan Cina. Para pakar ekonomi menyebut strategi pembangunan Cina sebagai pendekatan dari atas.

Ada lagi pembangunan ekonomi yang berseberangan dengan strategi Beijing. Itulah yang ditempuh India yang justru mendorong tumbuhnya perusahaan dan modal domestik. Itulah sebabnya, dibandingkan Cina, India kurang diminati pemodal asing, malahan para investor internasional sedikit ragu akan kesediaan dan kesiapan India menjalankan reformasi pasar.

Salah satu alasan mengapa Cina seakan menjadi gumpalan gula yang dikerumuni semut adalah faktor diaspora golongan etnis Cina. Jumlah mereka cukup besar, sekitar 55 juta dan tinggal di luar Cina. Banyak di antara mereka yang menjadi pengusaha konglomerat dan tertarik berinvestasi di negeri leluhur. Sebaliknya orang India perantauan jumlahnya hanya sekitar 20 juta, tak semakmur golongan etnis Cina perantauan.

Konon, hubungan antara orang India perantauan dengan tanah asal mereka kurang erat. Malahan mereka ini kurang disukai orang India yang tetap berdiam di India. Kalaupun ada yang menjadi pengusaha besar, mereka segan berinvestasi di negeri tempat tinggal nenek moyang mereka. Gejala ini masih berlangsung paling tidak sampai kini dengan kemungkinan akan berubah apabila pertumbuhan ekonomi India makin membumbung.

Karena dijauhi para investor asing, laju pertumbuhan ekonomi India sampai kini masih jauh di belakang Cina. Namun karena ketekunannya mendorong munculnya para investor domestik diperkirakan perekonomian India lebih kokoh daripada Cina dalam jangka panjang. Perkiraan ini dibuktikan ranking Forbes yang mendaftar 200 perusahaan kelas dunia pada 2002. Ke dalam daftar 200 besar itu tertera 13 perusahaan India yang dianggap mampu bersaing dengan perusahaan kaliber besar dari AS dan Uni Eropa. Hanya ada empat perusahaan Cina yang tertera dalam daftar itu.

Dilihat dari kacamata tataran ekonomi makro, kebijakan Cina mencerminkan perkembangan historis dan ideologis. Cina begitu berani mendatangkan modal asing, tapi sebaliknya menerapkan berbagai peraturan yang membatasi munculnya dan aktifnya investor domestik. Salah satu alasan utamanya adala kekhawatiran kalau kalau investor swasta itu menjadi pesaing BUMN, walaupun sebenarnya kinerja sejumlah perusahaan milik pemerintah itu kurang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di Cina justru perusahaan asinglah yang mendapat keuntungan dan kemudahan dari reformasi. India justru sebaliknya.

Di tengah krisis global yang tengah melanda, diperkirakan bahwa India yang akan mampu bertahan. Sifat pembangunannya bagaikan mengikuti ajaran Mahatma Gandhi. Itulah swadeshi, atau berupaya dengan berdasarkan pada kemampuan sendiri. Cina di bawah Mao Zedong juga pernah mengomandokan "berdiri di atas kaki sendiri" dengan slogan Maois yang dikenal dengan nama zili gengsheng. Akhirnya, waktulah yang akan menentukan apakah "Model Cina" atau "Model India" yang lebih tangguh. Untuk sementara, jalur cepat untuk pembangunan ekonomi masih berada di tangan Cina.

[L1]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda kami tunggu..........Tks

 
Add to Technorati Favorites

Web Site Counter
Canon printers

Add to Technorati Favorites Add to Technorati Favorites